Seperti hari biasa,hari ini kuliah ku lalui dengan semangat
jihadku. Bertemu dengan teman-teman kelas begitu membuatku semangat ke kampus
setiap pagi. Dengan berbagai macam karakter ku temui di sini, ya meskipun
banyak dari berbagai suku, aku nyaman di dalamnya dengan karakterku sendiri
untuk berbaur dengan mereka. Meskipun sedikit banyak perdebatan mungkin ini
yang malah membuat kami semakin dewasa dan saling merindukan. Jauh dari
keluarga sebagai pecandu ilmu itu sangat menantang memang. :D
Kuliah berakhir di sore hari, dengan kebiasaan yang berlangsung, sebagai anak
rantau kami berjalan kaki ramai-ramai menuju kost masing-masing dengan berbagai
canda tawa disepanjang jalan. Ini yang membuatku tak berasa lelah setelah
seharian jadi pecandu ilmu. Namun untuk hari ini, aku tak berjalan bersama
mereka karena sesuatu kepentingan kecil yang membuatku harus tertinggal sejenak
di kampus. Sesaat setelah selesai tak berpikir panjang aku segera beranjak
meninggalkan kampus menuju kostan. Berjalan kaki sendiri pada akhirnya, ya
tetap menyenangkan meskipun tak sesenang berjalan bersama mereka.
Sesaat hampir tiba di kostan, aku melihat seorang tua sepuh mengayuhkan sepeda
tuanya melintas di depanku ketika aku ingin menyebrang jalan. Entah apa yang
ada dipikiranku, seketika itu aku memanggilnya dan bertanya, “Pak, bisa men-sol
sandal tidak? Tapi sandalnya ada di rumah.”
“ Bisa, rumahnya dimana?”, jawabnya dengan nada lirih dan senyum. “di gang
depan itu pak, no.12B”, selaku. “ini mau pulang? Ya sudah saya ikuti dari
belakang ya neng”, sambutnya. Akhirnya aku baru menyadari, kenapa respon
pikiran ku secepat kilat begini yaa padahal sebelumnya tidak ada planning untuk
men-sol kan sandal ku dirumah. Ya tapi
tak apalah, toh juga tidak ada salahnya malah makin kuat sepertinya..hehe atau
mungkin ini sudah rezeki bapak itu (dalam hati). Setiba dikost, aku memintanya
menunggu sejanak sembari masuk dan mengambil sandalku. Beliau, menunggunya
dengan senyum keriput di wajahnya. Aku masuk dan mengambil sandal dan keluar
kembali menemuinya, lalu aku meminta izin masuk untuk melakukan sholat ashar
terlabih dahulu, ia menyilakan ku untuk menunaikan kewajibanku. Seusainya, aku
kembali menemuinya untuk melihat apakah sandal ku telah selasai di sol atau
belum, ternyata belum. Akhirnya tak panjang lebar dengan ke-KEPPO-anku aku
segera bertanya cara men-sol sandal yang benar itu bagaimana, ya meskipun tidak
berkeinginan menjadi tukang sol sepatu setidaknya aku tahu, pikirku. Ia dengan
senang hati menjawab dengan senyum dan telaten mensol satu demi satu tarikan
mengelilingi sandalku. Aku semakin semangat untuk bertanya. Pada akhirnya, aku
sedikit menyimpang dari topik,ku tanyakan tentang keluarganya. SubhanAllah aku sedikit berpikir sejenak merenungi
ketegaran seorang yang telah tua rentan menjalani kehidupannya. Beliau berasal
dari Garut dan merupakan ayah dari 11 orang anak. Dari ke 11 anaknya, 7 orang
telah mentas dan berkeluarga sekarang ada yang di Cikarang, Karawang, Tangerang
juga meskipun rata-rata hanya mengenyam pendidikan SLTA, dan ke 4 sisanya masih
berada di bangku sekolah. Di kerasnya Ibukota ia memilih untuk hidup hanya
seorang diri di sebuah rumah kontrakan kecil di dekat pasar Pelita, pasar arah
ke Terminal Tanjung Priok terangnya, karena istri dan keluarga berada di
kampung, dan enggan tinggal bersama anak-anaknya yang sudah berkeluarga karena
perasaannya yang takut merepotkan. “lagi juga kalo yang di kampung dibawa ke
Jakarta semua, mahal neng biaya hidupnya belum lagi sekolahnya anak-anak”,
tegasnya sambil tersenyum. “Makannya gimana Pak?”,tanyaku. “hehe, beli atuh
neng, ga ada yang masakin di sini, istri di kampung sama anak-anak”, sambutnya.
Sembari menanti sandalku, aku suguhi ia dengan pertanyaan-pertanyaan ku
tentangnya (maklum pak orang keppo, dalam hati). “kelilingnya kemana aja pak?
Dari pagi?” tanyaku sambil melihat-lihat peralatan sol di kotak sepedanya.
“Berangkatnya dari pagi sampai sore kaya gini, kemana aja neng, namanya cari
rezeki kadang jauh, kadang juga deket namanya juga buat keluarga, meskipun
sedikit tapi insyaAllah halal dan berkah neng,” pungkasnya sembari menyodorkan
sandal yang telah ia sol kepadaku. Dengan sedikit terkejut aku dalam lamunan
kecil, segera aku bertanya berapa yang harus aku bayar untuk jasa sol sandalku.
Ia hanya mematok harga Rp 10.000,- untuk sepasang sandal dan sepatu ternyata.
Aku beranjak meninggalkan bapak tua itu untuk masuk kedalam rumah. Di balik
jendela kecil aku mengintip kegiatannya membereskan peralatannya dan segera
pergi mengayuh sepedanya untuk melanjutkan perjalanannya pulang. Ya Allah aku
terdiam sejenak mendengar kata-kata Pak tua itu tadi , dengan tubuhnya yang
telah renta, keriput, dengan sepeda tuanya yang kulihat berkarat di semua
bagiannya, hingga tak nampak pelumas sedikitpun dari rantai sepedanya, namun ia
tetap semangat mencari rezeki yang halal dan berkah untuk keluarga. Dengan 11
orang anak dan 1 istri dan dirinya sendiri ia mampu menghidupi keluarganya
dengan mengandalkan menjadi tukang sol sepatu keliling bertahun-tahun di
Ibukota yang hanya mematok harga Rp 10.000,- /pasang. Secara logika ku kalo
main hitung-hitungan sebagai anak muda itu mustahil bisa dilakukan, Rp 10.000,-
dibagi-bagi dengan mahalnya biaya sekolah, biaya makan, belum sandang, papan,
atau kebutuhan lainnya di zaman sekarang, ditambah lagi tidak setiap hari juga
orang membutuhkan jasanya, tapi kenyataanya bisa dilakukannya meskipun dengan
kesederhanaan adanya. Kurang lebih kata yang masih melekat sampai detik ini
adalah “ tetap disyukuri aja neng meskipun sedikit ga apa apa, kan kita masih
punya Allah Yang Kaya, InsyaAllah Allah itu ga tidur yang penting kitanya
berdo’a dan jangan lupa usaha dan kerja kerasnya”. Benar adanya “Kunfayakun”
Allah bisa merubah apa yang Allah kehendaki, meskipun itu diluar logika kita. MAKJLEB
sekali kata-katanya membuat ku seketika ingin segera menelepon Ayah Ibuku di
rumah sana. Dan berterima kasih untuk semua kerja keras untuk aku anaknya.
Hanya do’a semoga tetap sehat kuat untuk Ayah dan Ibuku disana, maafkan nanda
yang masih belum bisa membalas secara riil untuk semuanya. Yah begitu berkesan
hari ini, alhamdulillah Allah masih mengingatkanku untuk tetap selalu
bersyukur. Memang benar terkadang
pelajaran itu tak mengenal siapapun dan dari manapun datangnya, dan jangan
memandang siapa yang memberi ilmu namun lihatlah apa yang ingin disampaikan.
“Lainsyakartum la adzi dhannakum, walain kafartum inna adzabii lasysyadid”. Semoga
bermanfaat dan menginspirasi J