Sabtu, 08 Februari 2014

Belajar Dari Seorang Tukang Sol Sepatu


Seperti hari biasa,hari ini kuliah ku lalui dengan semangat jihadku. Bertemu dengan teman-teman kelas begitu membuatku semangat ke kampus setiap pagi. Dengan berbagai macam karakter ku temui di sini, ya meskipun banyak dari berbagai suku, aku nyaman di dalamnya dengan karakterku sendiri untuk berbaur dengan mereka. Meskipun sedikit banyak perdebatan mungkin ini yang malah membuat kami semakin dewasa dan saling merindukan. Jauh dari keluarga sebagai pecandu ilmu itu sangat menantang memang. :D
Kuliah berakhir di sore hari, dengan kebiasaan yang berlangsung, sebagai anak rantau kami berjalan kaki ramai-ramai menuju kost masing-masing dengan berbagai canda tawa disepanjang jalan. Ini yang membuatku tak berasa lelah setelah seharian jadi pecandu ilmu. Namun untuk hari ini, aku tak berjalan bersama mereka karena sesuatu kepentingan kecil yang membuatku harus tertinggal sejenak di kampus. Sesaat setelah selesai tak berpikir panjang aku segera beranjak meninggalkan kampus menuju kostan. Berjalan kaki sendiri pada akhirnya, ya tetap menyenangkan meskipun tak sesenang berjalan bersama mereka.
Sesaat hampir tiba di kostan, aku melihat seorang tua sepuh mengayuhkan sepeda tuanya melintas di depanku ketika aku ingin menyebrang jalan. Entah apa yang ada dipikiranku, seketika itu aku memanggilnya dan bertanya, “Pak, bisa men-sol sandal tidak? Tapi sandalnya ada di rumah.”
“ Bisa, rumahnya dimana?”, jawabnya dengan nada lirih dan senyum. “di gang depan itu pak, no.12B”, selaku. “ini mau pulang? Ya sudah saya ikuti dari belakang ya neng”, sambutnya. Akhirnya aku baru menyadari, kenapa respon pikiran ku secepat kilat begini yaa padahal sebelumnya tidak ada planning untuk men-sol kan sandal ku dirumah.  Ya tapi tak apalah, toh juga tidak ada salahnya malah makin kuat sepertinya..hehe atau mungkin ini sudah rezeki bapak itu (dalam hati). Setiba dikost, aku memintanya menunggu sejanak sembari masuk dan mengambil sandalku. Beliau, menunggunya dengan senyum keriput di wajahnya. Aku masuk dan mengambil sandal dan keluar kembali menemuinya, lalu aku meminta izin masuk untuk melakukan sholat ashar terlabih dahulu, ia menyilakan ku untuk menunaikan kewajibanku. Seusainya, aku kembali menemuinya untuk melihat apakah sandal ku telah selasai di sol atau belum, ternyata belum. Akhirnya tak panjang lebar dengan ke-KEPPO-anku aku segera bertanya cara men-sol sandal yang benar itu bagaimana, ya meskipun tidak berkeinginan menjadi tukang sol sepatu setidaknya aku tahu, pikirku. Ia dengan senang hati menjawab dengan senyum dan telaten mensol satu demi satu tarikan mengelilingi sandalku. Aku semakin semangat untuk bertanya. Pada akhirnya, aku sedikit menyimpang dari topik,ku tanyakan tentang keluarganya. SubhanAllah  aku sedikit berpikir sejenak merenungi ketegaran seorang yang telah tua rentan menjalani kehidupannya. Beliau berasal dari Garut dan merupakan ayah dari 11 orang anak. Dari ke 11 anaknya, 7 orang telah mentas dan berkeluarga sekarang ada yang di Cikarang, Karawang, Tangerang juga meskipun rata-rata hanya mengenyam pendidikan SLTA, dan ke 4 sisanya masih berada di bangku sekolah. Di kerasnya Ibukota ia memilih untuk hidup hanya seorang diri di sebuah rumah kontrakan kecil di dekat pasar Pelita, pasar arah ke Terminal Tanjung Priok terangnya, karena istri dan keluarga berada di kampung, dan enggan tinggal bersama anak-anaknya yang sudah berkeluarga karena perasaannya yang takut merepotkan. “lagi juga kalo yang di kampung dibawa ke Jakarta semua, mahal neng biaya hidupnya belum lagi sekolahnya anak-anak”, tegasnya sambil tersenyum. “Makannya gimana Pak?”,tanyaku. “hehe, beli atuh neng, ga ada yang masakin di sini, istri di kampung sama anak-anak”, sambutnya. Sembari menanti sandalku, aku suguhi ia dengan pertanyaan-pertanyaan ku tentangnya (maklum pak orang keppo, dalam hati). “kelilingnya kemana aja pak? Dari pagi?” tanyaku sambil melihat-lihat peralatan sol di kotak sepedanya. “Berangkatnya dari pagi sampai sore kaya gini, kemana aja neng, namanya cari rezeki kadang jauh, kadang juga deket namanya juga buat keluarga, meskipun sedikit tapi insyaAllah halal dan berkah neng,” pungkasnya sembari menyodorkan sandal yang telah ia sol kepadaku. Dengan sedikit terkejut aku dalam lamunan kecil, segera aku bertanya berapa yang harus aku bayar untuk jasa sol sandalku. Ia hanya mematok harga Rp 10.000,- untuk sepasang sandal dan sepatu ternyata. Aku beranjak meninggalkan bapak tua itu untuk masuk kedalam rumah. Di balik jendela kecil aku mengintip kegiatannya membereskan peralatannya dan segera pergi mengayuh sepedanya untuk melanjutkan perjalanannya pulang. Ya Allah aku terdiam sejenak mendengar kata-kata Pak tua itu tadi , dengan tubuhnya yang telah renta, keriput, dengan sepeda tuanya yang kulihat berkarat di semua bagiannya, hingga tak nampak pelumas sedikitpun dari rantai sepedanya, namun ia tetap semangat mencari rezeki yang halal dan berkah untuk keluarga. Dengan 11 orang anak dan 1 istri dan dirinya sendiri ia mampu menghidupi keluarganya dengan mengandalkan menjadi tukang sol sepatu keliling bertahun-tahun di Ibukota yang hanya mematok harga Rp 10.000,- /pasang. Secara logika ku kalo main hitung-hitungan sebagai anak muda itu mustahil bisa dilakukan, Rp 10.000,- dibagi-bagi dengan mahalnya biaya sekolah, biaya makan, belum sandang, papan, atau kebutuhan lainnya di zaman sekarang, ditambah lagi tidak setiap hari juga orang membutuhkan jasanya, tapi kenyataanya bisa dilakukannya meskipun dengan kesederhanaan adanya. Kurang lebih kata yang masih melekat sampai detik ini adalah “ tetap disyukuri aja neng meskipun sedikit ga apa apa, kan kita masih punya Allah Yang Kaya, InsyaAllah Allah itu ga tidur yang penting kitanya berdo’a dan jangan lupa usaha dan kerja kerasnya”. Benar adanya “Kunfayakun” Allah bisa merubah apa yang Allah kehendaki, meskipun itu diluar logika kita. MAKJLEB sekali kata-katanya membuat ku seketika ingin segera menelepon Ayah Ibuku di rumah sana. Dan berterima kasih untuk semua kerja keras untuk aku anaknya. Hanya do’a semoga tetap sehat kuat untuk Ayah dan Ibuku disana, maafkan nanda yang masih belum bisa membalas secara riil untuk semuanya. Yah begitu berkesan hari ini, alhamdulillah Allah masih mengingatkanku untuk tetap selalu bersyukur. Memang benar  terkadang pelajaran itu tak mengenal siapapun dan dari manapun datangnya, dan jangan memandang siapa yang memberi ilmu namun lihatlah apa yang ingin disampaikan. “Lainsyakartum la adzi dhannakum, walain kafartum inna adzabii lasysyadid”. Semoga bermanfaat dan menginspirasi J


Tidak ada komentar:

Sabtu, 08 Februari 2014

Belajar Dari Seorang Tukang Sol Sepatu


Seperti hari biasa,hari ini kuliah ku lalui dengan semangat jihadku. Bertemu dengan teman-teman kelas begitu membuatku semangat ke kampus setiap pagi. Dengan berbagai macam karakter ku temui di sini, ya meskipun banyak dari berbagai suku, aku nyaman di dalamnya dengan karakterku sendiri untuk berbaur dengan mereka. Meskipun sedikit banyak perdebatan mungkin ini yang malah membuat kami semakin dewasa dan saling merindukan. Jauh dari keluarga sebagai pecandu ilmu itu sangat menantang memang. :D
Kuliah berakhir di sore hari, dengan kebiasaan yang berlangsung, sebagai anak rantau kami berjalan kaki ramai-ramai menuju kost masing-masing dengan berbagai canda tawa disepanjang jalan. Ini yang membuatku tak berasa lelah setelah seharian jadi pecandu ilmu. Namun untuk hari ini, aku tak berjalan bersama mereka karena sesuatu kepentingan kecil yang membuatku harus tertinggal sejenak di kampus. Sesaat setelah selesai tak berpikir panjang aku segera beranjak meninggalkan kampus menuju kostan. Berjalan kaki sendiri pada akhirnya, ya tetap menyenangkan meskipun tak sesenang berjalan bersama mereka.
Sesaat hampir tiba di kostan, aku melihat seorang tua sepuh mengayuhkan sepeda tuanya melintas di depanku ketika aku ingin menyebrang jalan. Entah apa yang ada dipikiranku, seketika itu aku memanggilnya dan bertanya, “Pak, bisa men-sol sandal tidak? Tapi sandalnya ada di rumah.”
“ Bisa, rumahnya dimana?”, jawabnya dengan nada lirih dan senyum. “di gang depan itu pak, no.12B”, selaku. “ini mau pulang? Ya sudah saya ikuti dari belakang ya neng”, sambutnya. Akhirnya aku baru menyadari, kenapa respon pikiran ku secepat kilat begini yaa padahal sebelumnya tidak ada planning untuk men-sol kan sandal ku dirumah.  Ya tapi tak apalah, toh juga tidak ada salahnya malah makin kuat sepertinya..hehe atau mungkin ini sudah rezeki bapak itu (dalam hati). Setiba dikost, aku memintanya menunggu sejanak sembari masuk dan mengambil sandalku. Beliau, menunggunya dengan senyum keriput di wajahnya. Aku masuk dan mengambil sandal dan keluar kembali menemuinya, lalu aku meminta izin masuk untuk melakukan sholat ashar terlabih dahulu, ia menyilakan ku untuk menunaikan kewajibanku. Seusainya, aku kembali menemuinya untuk melihat apakah sandal ku telah selasai di sol atau belum, ternyata belum. Akhirnya tak panjang lebar dengan ke-KEPPO-anku aku segera bertanya cara men-sol sandal yang benar itu bagaimana, ya meskipun tidak berkeinginan menjadi tukang sol sepatu setidaknya aku tahu, pikirku. Ia dengan senang hati menjawab dengan senyum dan telaten mensol satu demi satu tarikan mengelilingi sandalku. Aku semakin semangat untuk bertanya. Pada akhirnya, aku sedikit menyimpang dari topik,ku tanyakan tentang keluarganya. SubhanAllah  aku sedikit berpikir sejenak merenungi ketegaran seorang yang telah tua rentan menjalani kehidupannya. Beliau berasal dari Garut dan merupakan ayah dari 11 orang anak. Dari ke 11 anaknya, 7 orang telah mentas dan berkeluarga sekarang ada yang di Cikarang, Karawang, Tangerang juga meskipun rata-rata hanya mengenyam pendidikan SLTA, dan ke 4 sisanya masih berada di bangku sekolah. Di kerasnya Ibukota ia memilih untuk hidup hanya seorang diri di sebuah rumah kontrakan kecil di dekat pasar Pelita, pasar arah ke Terminal Tanjung Priok terangnya, karena istri dan keluarga berada di kampung, dan enggan tinggal bersama anak-anaknya yang sudah berkeluarga karena perasaannya yang takut merepotkan. “lagi juga kalo yang di kampung dibawa ke Jakarta semua, mahal neng biaya hidupnya belum lagi sekolahnya anak-anak”, tegasnya sambil tersenyum. “Makannya gimana Pak?”,tanyaku. “hehe, beli atuh neng, ga ada yang masakin di sini, istri di kampung sama anak-anak”, sambutnya. Sembari menanti sandalku, aku suguhi ia dengan pertanyaan-pertanyaan ku tentangnya (maklum pak orang keppo, dalam hati). “kelilingnya kemana aja pak? Dari pagi?” tanyaku sambil melihat-lihat peralatan sol di kotak sepedanya. “Berangkatnya dari pagi sampai sore kaya gini, kemana aja neng, namanya cari rezeki kadang jauh, kadang juga deket namanya juga buat keluarga, meskipun sedikit tapi insyaAllah halal dan berkah neng,” pungkasnya sembari menyodorkan sandal yang telah ia sol kepadaku. Dengan sedikit terkejut aku dalam lamunan kecil, segera aku bertanya berapa yang harus aku bayar untuk jasa sol sandalku. Ia hanya mematok harga Rp 10.000,- untuk sepasang sandal dan sepatu ternyata. Aku beranjak meninggalkan bapak tua itu untuk masuk kedalam rumah. Di balik jendela kecil aku mengintip kegiatannya membereskan peralatannya dan segera pergi mengayuh sepedanya untuk melanjutkan perjalanannya pulang. Ya Allah aku terdiam sejenak mendengar kata-kata Pak tua itu tadi , dengan tubuhnya yang telah renta, keriput, dengan sepeda tuanya yang kulihat berkarat di semua bagiannya, hingga tak nampak pelumas sedikitpun dari rantai sepedanya, namun ia tetap semangat mencari rezeki yang halal dan berkah untuk keluarga. Dengan 11 orang anak dan 1 istri dan dirinya sendiri ia mampu menghidupi keluarganya dengan mengandalkan menjadi tukang sol sepatu keliling bertahun-tahun di Ibukota yang hanya mematok harga Rp 10.000,- /pasang. Secara logika ku kalo main hitung-hitungan sebagai anak muda itu mustahil bisa dilakukan, Rp 10.000,- dibagi-bagi dengan mahalnya biaya sekolah, biaya makan, belum sandang, papan, atau kebutuhan lainnya di zaman sekarang, ditambah lagi tidak setiap hari juga orang membutuhkan jasanya, tapi kenyataanya bisa dilakukannya meskipun dengan kesederhanaan adanya. Kurang lebih kata yang masih melekat sampai detik ini adalah “ tetap disyukuri aja neng meskipun sedikit ga apa apa, kan kita masih punya Allah Yang Kaya, InsyaAllah Allah itu ga tidur yang penting kitanya berdo’a dan jangan lupa usaha dan kerja kerasnya”. Benar adanya “Kunfayakun” Allah bisa merubah apa yang Allah kehendaki, meskipun itu diluar logika kita. MAKJLEB sekali kata-katanya membuat ku seketika ingin segera menelepon Ayah Ibuku di rumah sana. Dan berterima kasih untuk semua kerja keras untuk aku anaknya. Hanya do’a semoga tetap sehat kuat untuk Ayah dan Ibuku disana, maafkan nanda yang masih belum bisa membalas secara riil untuk semuanya. Yah begitu berkesan hari ini, alhamdulillah Allah masih mengingatkanku untuk tetap selalu bersyukur. Memang benar  terkadang pelajaran itu tak mengenal siapapun dan dari manapun datangnya, dan jangan memandang siapa yang memberi ilmu namun lihatlah apa yang ingin disampaikan. “Lainsyakartum la adzi dhannakum, walain kafartum inna adzabii lasysyadid”. Semoga bermanfaat dan menginspirasi J


Tidak ada komentar: